Hukum dan Senjata, Dua Alat Utama Rezim Otoriter

Hukum alam tidak memisahkan, apalagi rigid antara norma hukum buatan, yang diciptakan manusia, dengan etika atau moralitas. Tetapi apapun itu, bagaimana menemukan justifikasi rasional terhadap pelembagaan, tidak hanya diskriminasi ras, termasuk agama minoritas, dan kebebasan berbicara, berorganisasi atau berkumpul?

Rasio macam apa yang dapat disodorkan untuk menjustifikasi norma hukum yang melarang orang berserikat dan berbicara? Mau disebut apa orang mati di Kamp konsesentrasi, tanpa dapat membela diri? Logiskah extra court punishment, bahkan extra court killing dilembagakan?

Stephen Riley, yang pandangannya dikutip Simon Lavis dan dimuat dalam disertasinya, menilai Nazi law is not law. Penilaiannya memang berbeda dengan H.A.L Hart, positivist tulen dalam khasanah ilmu hukum. Hart tetap menganggap Nazi law is law. Baginya, law harus dibedakan dengan moralitas.

Penilaian Hart ternyata disanggah oleh Llon Fuller. Penyangkalannya didasarkan serangkaian fakta, terutama extra judicial killing di kamp konsentrasi. Bagi Fuller penghukuman jenis ini tidak dapat dibenarkan, dengan semua alasan yang mungkin. Baginya nazi law is not positive law.

Llon Fuller memang tidak sezaman dengan Cicero. Memang itu jelas. Tetapi kenyataan itu tidak menjadi alasan Fuller, tidak menjustifikasi pernyataan Cicero “salus populi suprema lex esto” yang disukai oleh rezim-rezim teror dan otoriter.