Ritual Tolak Bala’ di Negeri Mayoritas Muslim

Itu semua adalah keyakinan batil yang sangat jauh dari Islam. Na’udzubillahi min dzalik. Kami berlindung dari hal yang demikian.

Di luar bulan Syawal, masyarakat Banyuwangi juga punya ritual tolak bala’ bernama Kebo-keboan. Khususnya, tradisi kebo-keboan ini amat dikenal masyarakat Alasmalang, Banyuwangi, Jawa Timur. Konon, Kebo-keboan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam, dan selalu dilaksanakan pada tanggal 10 bulan Muharam. Tujuannya, antara lain untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dan terhindar dari penyakit aneh yang mewabah.

Ritual tolak bala’ Kebo-keboan ini diawali dengan menanam hasil pertanian, seperti buah-buahan (pala gumantung), umbi-umbian (pala kependhem atau pala bungkil), serta kacang-kacangan (pala kesampir). Kemudian, pada keesokan harinya dilanjutkan dengan makan bersama. Hidangan yang disantap bersama, disiapkan oleh warga sekitar, berupa nasi tumpeng yang ditempatkan pada anchak yang terbuat dari batang daun pisang dan bambu. Juga, dilengkapi dengan pecel ayam yang merupakan makanan khas desa Alasmalang. Hidangan itu sebelum disantap bersama-sama, terlebih dulu didoakan oleh sesepuh agama. Usai makan bersama, warga desa saling membagikan kue-kue keada sanak familinya.

Ritual tolak bala’ ini disebut Kebo-keboan, karena salah satu prosesinya mengandung unsur kerbau (kebo), yang diperankan oleh sejumlah laki-laki dewasa dalam keadaan kesurupan dan berdandan serta bertingkah bagai kerbau (kebo). Para kebo-keboan ini kemudian diarak (pawai ider bumi) keliling desa dan singgah sejenak di kiblat desa berupa batu besar dan menyerahkan sesaji berupa pitung tawar.

Kiblat desa bagi masyarakat Alasmalang disebut kiblat papat (empat kiblat), terdiri dari watu lasa (kiblat timur laut), watu warang (kiblat barat), watu gajah (kiblat selatan), dan watu naga (kiblat timur). Keempat batu kiblat tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat menyelamatkan desa Alasmalang dari bencana yang akan menimpa warga desa. (Itulah keyakinan kemusyrikan, karena mempercayai batu diyakini punya kekuatan magis yang dapat menyelamatkan desa. Na’udzubillahi min dzalik!)

Sebelum pawai ider bumi berlangsung, jalan desa terlebih dulu dialiri air sehingga menjadi seperti sawah. Para kebo-kebon ini, selama pawai ider bumi berlangsung, saat melewati jalan desa yang sudah dialiri air akan bertingkah bagai kerbau. Prosesi ini dinamakan bedah banyu. Usai pawai ider bumi dan menyerahkan sesajen pitung tawar di kiblat papat, para kebo-keboan tadi dibawa menuju pusat desa untuk menjalani prosesi membajak sawah. Peralatan bajak sawah yang sederhana sudah disiapkan untuk prosesi ini. Termasuk benih padi yang akan ditanam. Lelaki dewasa yang kesurupan dan bertingkah bagai kerbau ini, akan kembali seperti semula setelah dimantra-mantrai oleh tetua adat.

Upacara yang mengikuti bisikan syetan itu hanya menjerumuskan. Untuk upacara penyembahan syetan itu bila biayanya digunakan untuk menyantuni anak yatim misalnya, tentu bermanfaat. Namun dengan diadakan upacara ritual syaithoni seperti ini justru disamping sesat, masih pula yang seharusnya disantuni malah dananya untuk syetan, maka benarlah firman Allah Ta’ala:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [البقرة/268]

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia [170]. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 268)

[170]. Balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan sewaktu di dunia.