Ritual Tolak Bala’ di Negeri Mayoritas Muslim

Ritual kemusyrikan atas nama budaya lokal

Ngerinya, di kawasan yang selama ini dikenal sebagai kawasan yang berpegang teguh pada syari’at Islam pun, seperti di Sumatera Barat, ritual paganis ini dipraktekkan sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal, bahkan dijadikan objek wisata. Misalnya, di Sawahlunto yang terletak sekitar 95 kilometer dari ibukota Sumatera Barat, Padang.

Di kawasan ini, ritual tolak bala’ disebut dengan nama Karu. Di tempat lain, seperti Silungkang, Kubang, Kolok dan sejumlah daerah lainnya di kawasan Sumatera Barat, dinamakan Do’a Tolak Bala’. Bila ritual Do’a Tolak Bala’ dilaksanakan pada malam hari sambil berkeliling kampung dan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat, Karu justru dilaksanakan pada siang hari, dan terpusat di Situs Bala’i Batu Sandaran sebagai Pusat Desa.

Karu tidak sekedar memanjatkan do’a serta puji-pujian kepada yang Maha Kuasa menurut penafsiran mereka, namun dilanjutkan dengan Baureh dan makan bersama. Baureh adalah prosesi memercikkan air yang dilakukan oleh dukun nagari kepada masyarakat yang hadir. Air dipercikkan dengan menggunakan alat bantu berupa tumbuhan alam yang terdiri dari Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin yang telah dimantra-mantrai dan diasapi bakaran kemenyan. Mungkin mirip pendeta Hindu di Bali saat memercikkan air suci kepada penganut Hindu.

Bersamaan dengan percikan air, berbagai harapan pun dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa, termasuk memohon kesehatan jasmani dan rohani serta dijauhkan dari marabahaya maupun penyakit yang akan mendera. Adakalanya, masyarakat membekali dirinya dengan Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin untuk dimantra-mantrai, kemudian dibawa pulang dan digunakan untuk melakukan prosesi baureh di rumah masing-masing. Usai prosesi baureh, dilanjutkan dengan makan bersama. Hidangan yang dimakan bersama-sama berasal dari masakan yang dibawa oleh setiap keluarga yang mengikuti ritual Karu.

Dalam setahun ritual Karu setidaknya dilaksanakan dua kali. Pertama, satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Kedua, usai Ramadhan. Namun demikian, ritual ini bisa saja dilaksanakan pada saat-saat darurat, terjadi wabah penyakit, atau ketika pertanian terserang hama dan mengakibatkan gagal panen. (www.sawahlunto-tourism.com)

Menurut sebuah media lokal, ritual tolak bala’ menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian warga Minang, bahkan mereka selalu berusaha melestarikan adat tersebut. Misalnya, sebagaimana terjadi pada 21 Mei 2011 lalu, di Lubuk Kilangan, Padang. Menurut masyarakat Lubuk Kilangan, tolak bala’ adalah acara adat yang berisi doa keselamatan agar dijauhkan dari bencana dan marabahaya, juga untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat lubuk kilangan yang mayoritas petani.

Ritual tolak bala’ kali ini berlangsung malam hari sekitar pukul 20:00 wib, dan dimpimpin oleh Dasri (Ketua Kerapatan Adata Nagari) Lubuk Kilangan, yang membacakan sejumlah doa. Kemudian dilanjutkan dengan ritual membuang uang logam dan sesajian ke sungai, dengan tujuan agar segala kesusahan dan marabahaya hanyut bersama uang logam dan sesaji tersebut.

Ritual tolak bala’ ini berlanjut dengan menjalankan tradisi Pararakan. Yaitu, mengarak sebuah miniatur mesjid yang ditempeli uang kertas, keliling kampung. Setelah diarak, miniatur masjid tersebut diberikan kepada mesjid yang membutuhkan bantuan. Usai serah-terima miniatur masjid, para ninik mamak kaum Lubuk Kilangan langsung mengadakan acara adat makan bajamba.

Ada kemiripan dengan Karu di Sawahlunto yang di dalamnya ada acara makan bersama. Di Lubuk Kilangan, hidangan yang dimakan bersama berasal dari bawaan kaum ibu dari enam suku yang berada di lubuk kilangan. Usai makan bajamba, dilanjutkan dengan prosesi dzikir bersama hingga pagi hari yang dilakukan hanya oleh kaum lelakinya saja. (http://minangkabaunews.com/artikel-257-ritual-tolak-bala’-warga-lubuk-kilangan.html)

Masih di Sumatera Barat, ritual tolak bala’ yang dilaksanakan khusus pada akhir bulan Safar juga diamalkan oleh para pengikut Syekh Burhanuddin, khususnya di Kecamatan Ulakan, Kabupaten Pariaman. Namanya, Basafa. Ritual Basafa diisi dengan shalat dan pengajian, juga melantunkan serangkaian doa keselamatan.

Selain di Sumatera Barat yang terkenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, di Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi kewenangan khusus menerapkan syari’at Islam ini, ternyata ritual tolak bala’ juga masih terjadi. Misalnya, sebagaimana terjadi di Desa Meloak Ilang, Kecamatan Putri Beutung, Kabupaten Bener Meriah, NAD.

Di Desa Meloak Ilang ini, ritual tolak bala’ sudah menjadi tradisi tahunan. Prosesi yang ditempuh adalah menghanyutkan sesajian berupa ayam jantan putih ke Sungai Alas oleh para tetua kampung. Mirip prosesi larung sesaji di Jawa. Mereka meyakini, ritual itu dapat menangkal datangnya bala’. Pada tahun 2010 lalu, ritual tolak bala’ berlangsung pada hari Ahad tanggal 06 Juni.

Maksud hati menolak bala’, yang datang justru musibah. Ritual tolak bala’ ini ternyata menarik perhatian masyarakat, termasuk anak-anak. Pada saat ritual tolak bala’ berlangsung, sejumlah anak-anak menjejali jembatan gantung yang melintas di atas Sungai Alas. Kekuatan besi jembatan gantung itu rupanya tidak disiapkan untuk menahan beban berat, sehingga besi itu lepas dan menyebabkan sejumlah orang yang berada di atasnya tercebur ke sungai, termasuk anak-anak. Akibatnya, sejumlah 12 anak berusia antara 6-12 tahun tewas tenggelam, dan 25 lainnya mengalami cidera. (nasional.vivanews.com edisi 07 Juni 2010)