AADA: Ada Apa Dengan Amerika (Bag.I)

Langkah ini tidak jauh dari kesepahaman Amerika terkait isu Palestina saat Greenblatt yang meminta Otoritas Palestina agar kembali menguasai Jalur Gaza dari tangan Hamas (pernyataan pada 20 Agustus 2017). Sebelum dan sesudahnya, statemen yang sama diulang. Namun langkah Trump ini gagal oleh inisiatif elit badan intelijen umum Mesir yang menjadi sponsor rekonsiliasi Palestina.

Langkah ini memaksa Mahmud Abbas untuk kembali ke Mesir yang kembali menjadi pemegang persoalan Palestina. sejak itu deklarasi rekonsiliasi Palestina antara Hamas dan Fatah diumumkan di Kairo.

Rekonsiliasi Palestina ini menjadi perkembangan isu Palestina memasuki babak baru, baik dari sisi inisiatif Truump melalui Kushner dan Greenblatt Dengan kata lain, isu Palestina berada di persimpangan jalan yang tidak ada kekuatan tertentu dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menentukan masa depannya sendirian atau pemeran utama yang memaksakan target dan strateginya sendiri.

Di sini, kita dihadapkan pada ciri baru “instabil” dalam situasi dunia, situasi regional, Arab dan Palestina. ini disebabkan oleh beberapa faktor karena beringsutnya hegemoni Amerika dan politik Trump yang tidak kokoh.

Sebagai contoh, Mahmoud Abbas saat dialog antara delegasi rekonsiliasi Fatah dan Hamas di Kairo bahwa “tidak ada rekonsiliasi kecuali berdasarkan satu otoritas, satu senjata, satu lembaga keamanan, satu keputusan dalam damai dan perang”. Sementara elit Hamas menyatakan akan mau menyerahkan Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina kecuali senjata perlawanan, terowongan dan keamananya. Ini yang menyebabkan rekonsiliasi berada di sebuah posisi yang di bawahnya ada bom waktu. Jika ada usaha untuk memaksakan syarat-syarat Mahmud Abbas maka akan kembali kepada perpecahan. Namun yang terpenting dimanakah Amerika dalam hal ini?

Selama 10 bulan pertama eranya, kepemimpinan Trump diwarnai dengan tidak fokus dan emosional. Presiden Amerika ini membuka front  konflik dengan berbagai pihak di waktu yang sama; anti nuklir Korea Utara, anti kesepakatan nuklir Iran, anti ISIS, anti Hezbollah dan Hamas, anti Rusia, anti Cina. Tentu disamping bersama sekutunya membuka front konflik terkait kesepakatan Mexico – Amerika – Kanada (Nafta), atau kesepakatan Amerika – Asia (kesepakatan ekonomi Pasifik (APEC) atau konfliknya dengan Jerman, Perancis dan persoalan Kesepakatan Iklim atau proyek kesepakatan seabad terkait isu Palestina atau sikapnya terkait NATO. Bersambung…

Penulis : Munir Shafiq