Kemana Jack Ma Menghilang?

Dari pisau geopolitik, hal paling vital dalam bernegara ialah bab kedaulatan negara. Entah negara apapun, dimanapun, sampai kapanpun. Kendati terminologi kedaulatan negara di era globalisasi mulai “bergeser,” tidak lagi mutlak. Tetapi, bagi negara tertentu terutama para adidaya, kedaulatan klasik tetap dianut termasuk Indonesia, misalnya, NKRI harga mati; tidak sejengkal tanah pun kuserahkan kepada asing; pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita dan lain-lain. Itulah sepintas dogma-dogma tentang vitalnya kedaulatan bagi sebuah negara.

Cerita tentang JM dengan “Alibaba”-nya, atas seizin Xi Jinping, ia melantai —menjual IPO— di Wall Street. Xi menyetujui karena ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa Cina bukan lagi negara komunis yang kumuh dan miskin, tetapi telah menjadi negara maju, kapitalis dan modern. Jadi, secara filosofi geopolitik bahwa Alibaba cuma sekedar “show room” bagi Xi Jinping pada satu sisi, tetapi cerdasnya JM, ia cuma menjual Alibaba sedangkan perusahaan teknologi yang menggerakkan (ruh) Alibaba masih dalam genggamannya di sisi lain.

Ketika 54% saham Alibaba dikuasai publik baik Softbank Jepang (32%) maupun Wall Street (22%), JM merasa bahwa tidak ada “kekuatan” yang bisa menyentuhnya. Mengapa? Karena kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, Cina juga merugi, terutama hilangnya kepercayaan (trust) dunia. Sementara saham JM sendiri hanya 5,6%. Sebenarnya sangat kecil bila dibanding Softbank dan Wall Street, tetapi karena JM menguasai perusahan teknologi yang menggerakkan Alibaba, investor masih sangat membutuhkan.

Secara politis, JM sudah dan kerap diingatkan oleh para pejabat-pejabat Cina bahwa langkahnya sangat rawan secara (kedaulatan) negara, tetapi JM merasa bahwa Alibaba terlalu besar untuk diintervensi. Adanya peringatan itu bukannya mawas diri, justru JM banyak mengkritik PKC sebagai mesin tua yang tidak siap menghadapi kemajuan zaman sehingga mengundang kemarahan Xi sejak 2015 sebab sering mengkritik kebijakan PKC.