Rahasia Komunikasi Nabi Ibrahim yang Diabadikan Alquran

Mendengar feedback yang seakan-akan tanpa beban itu, Ibrahim mengeluarkan pernyataan  yang cukup keras.

قَالَ لَقَدْ كُنتُمْ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمْ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Ibrahim berkata: sesungguhnya kamu dan bapak-bapak kamu dalam kesesatan yang benar-benar nyata.” (QS al-Anbiyā [21]: 54)

Pernyataan tersebut, sangat keras karena digunakan tiga alat penguatan pernyataan, yaitu huruf  lām al-ibtidā, qad, dan kata ganti antum.

Dengan pernyataan ini, diharapkan mereka tidak bisa menjawab lagi. Rupanya kata-kata tersebut sangat tajam dan berpengaruh pada diri mereka, sehingga membuat mereka kebingungan dan bertanya-tanya.

قالوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ

Mereka berkata: apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang yang bermain-main.” (QS al-Anbiyā [21]: 55)

Dialog di dalam surat Al-Anbiyă adalah dialog paling sengit . Ibrahim memprovokasi pernyataannya dengan menggunakan huruf qasam (sumpah), demikian pula umatnya membuat feedback yang tidak nyambung, sehingga berakhir di persidangan. Bahkan dalam persidangan ini, masih ada dialog yang sengit, yang berakhir dengan “hukuman bakar.”

Berbeda lagi dengan dialog di surat Maryam [19]: 42-47, meskipun ada kesamaan dalam tema yaitu monoteisme, di surat Maryam ini Ibrahim menyatakan pandangannya dengan santun:

 -اِذۡ قَالَ لِاَبِيۡهِ يٰۤـاَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَ لَا يُغۡنِىۡ عَنۡكَ شَيۡــًٔـا

-يٰۤـاَبَتِ اِنِّىۡ قَدۡ جَآءَنِىۡ مِنَ الۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَاۡتِكَ فَاتَّبِعۡنِىۡۤ اَهۡدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

-يٰۤـاَبَتِ لَا تَعۡبُدِ الشَّيۡطٰنَ‌ ؕ اِنَّ الشَّيۡطٰنَ كَانَ لِلرَّحۡمٰنِ عَصِيًّا

-يٰۤاَبَتِ اِنِّىۡۤ اَخَافُ اَنۡ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ فَتَكُوۡنَ لِلشَّيۡطٰنِ وَلِيًّا‏

Dialog Ibrahim dengan ayahnya ini dilakukkan dengan sangat hati-hati, dipilihnya diksi yang tidak menyinggung perasaan ayahnya, sekalipun berbeda keyakinan.

Ibrahim menggunakan kata yā abatī diulang sebanyak empat kali. Yā abatī (wahai ayahku) ungkapan yang sangat santun, lebih santun dari pada ungkapan yā abī. Ia dialog berdua dengan bapaknya berbeda dengan sewaktu  ia dialog dengan ayah dan kaumnya. Di sini digunakan kalimat:

“Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?

Di tempat lain digunakan ungkapan:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” 

Untuk memberi kesan kepada ayahnya bahwa Ibrahim berbeda dari anak-anak lainnya sehingga ia berani menasehatinya. Ia berkata:

يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS Maryam: 43)