Jangan Ambil Anakku

Jangan Ambil Anakku

Terkulai lemas, demam dan mukanya merah karena panas yang lebih dari 40 derajat, sungguh memilukan melihatnya. Anakku dalam kondisi begitu, yang tadinya lincah, cerewet, tiba-tiba diam kuyuh dan hanya tergeletak tidur. Putriku, betapa ingin aku yang tergeletak di situ menggantikanmu. Sakit yang paling berat yang dialaminya selama 1,5 tahun usianya.

Normalnya dia akan meringis usil atau berlari dan lincah menarik perhatian. Pas dengan usianya yang memang sedang caper-capernya. Bidadari kecilku itu. Yang membayangkannya saja atau bercerita tentangnya saja cukup membuat dadaku terbuncah oleh rasa sayangku. Tapi jangan dianggap aku tidak pernah dibuat jengkel olehnya. Usia 1,5 tahun yang sudah bukan ‘bayi’ lagi, identik dengan banyaknya keinginan, yang terkadang tidak mau ngerti dengan argumen yang kita berikan. Ngotot, teriak, dan nangis jika apa yang dia maui tidak terpenuhi. Singkatnya sih bikin senewen. Ya itu … bidadari kecilku itu. Putriku satu-satunya.

Sekarang aku harus menyaksikannya mederita sakit. Bayangan buruk segera terlintas. Seandainya hari ini dia harus pergi. Seandainya penyakit yang dia idap sekarang mengantarkannya untuk meninggalkan kami. Ada lintasan rasa protes dan tidak rela membayangkan itu. Takut! Bahkan nada meminta, ya Allah jangan ambil anakku! Jangan sekarang, dia masih kecil, dia baru sebentar bersama kami. Kupeluk dia erat dan tak terasa menetes air mataku.

Astafighrullah. Astafighrullah. Jeritan hatiku itu manusiawi kan? Terlebih aku sebagai seorang ibu. Yang sudah mengandung, menyusui dan membesarkan. Tapi sebagai seorang hamba-Nya aku berusaha berpikir jernih dan berusaha menghilangkan pikiran buruk yang timbul. Aku tahu aku tidak boleh berpikiran buruk.

Tapi satu hal yang perlu kukaji dan kurenungkan dalam, bukan mengenai pikiran buruk itu. Mengenai sikapku menghadapinya. Mengapa aku harus takut, protes bahkan tak rela seperti jika hal itu – misalnya – harus terjadi. Astafighrullah. Ya Allah ampuni hamba-Mu ini. Yang mempertanyakan kehendak-Mu dan takdir-Mu.

Manusia itu tidak punya apa-apa. Semuanya titipan Allah termasuk anak. Hal yang sudah lama aku tau. Namun jelas belum tertanam subur dalam hatiku. Anak adalah titipan-Nya. Seiring perjalanan sang waktu, betapa sering menyesatkan, melenakan rasa sayang yang kita miliki ke anak-anak kita. Besarnya rasa cinta, kebersamaan setiap waktunya, membuat lupa hakekat anak yang bukan milik kita.

Aku tau aku harus mematri perlahan namun pasti dalam otak dan hatiku, bahwa bidadari kecilku itu bukan milikku. Dia titipan Allah yang diamanahkan padaku dan harus kujaga titipan itu. Sehingga kelak entah kapan kalau diminta kembali, bisa kembali dengan baik. Sehingga kelak ketika ditanya pertanggungjawabanku tentangnya aku sudah melakukan kewajibanku sebaik-baiknya.

Rasa sedih adalah manusiawi, tapi rasa tidak rela dan ridho menghadapinya bukan merupakan sikap seorang Muslim yang beriman. Rasulullah Saw sendiri menangis sedih ketika putra beliau, Ibrahim meninggal. Tetapi beliau mengatakan, “Tidak akan berkata kecuali yang diridhoi Allah”. Artinya kesedihan beliau tidak sampai melanggar seperti menyalahkan ketentuan Allah atau tidak menerima takdir-Nya. Yakinlah bahwa di setiap kehendak dan takdir Allah selalu banyak hikmah dibaliknya.

Mungkin ada baiknya jika kita merenungkan, mempertanyakan akan seperti apa kita ketika titipan Allah kepada kita diambil dan diminta. Bukan untuk buang-buang waktu memikirkan dan merisaukan hal yang tidak terjadi. Sekali lagi juga bukan untuk berpikiran buruk atau negatif, tapi untuk melihat jauh kedalam hati sanubari kita bagaimana kita memposisikan anak kita. Sebagai milik kita? Sebagai lambang identitas pribadi. Atau sebagai titipan dan amanah Allah yang harus kita jaga, pelihara dan kita didik.

Orang tua harus ikhlas kalo barang pinjaman tersebut sudah diminta kembali. Dan itu tidak mengurangi sedikitpun porsi cinta dan sayang kita. Hanya menempatkannya pada porsi yang benar. Jangan sampai rasa sayang dan memiliki yang berlebihan membuat kita melanggar dan menentang ketentuan dan takdir Allah. Anak memang merupakan nikmat, tapi juga cobaan bahkan juga bisa menjadi fitnah. Wallahu’alam bishshowab.

Ya Allah Engkau Maha Berkuasa dan Maha Tahu ya Allah. Bimbing kami untuk mendidik anak-anak kami menjadi anak sholeh/sholehah dan manjadi hamba-Mu yang beriman. Jangan jadikan mereka pemberat langkah kami menuju surga-Mu ya Allah. Jangan engkau jadikan anak-anak kami sebagai fitnah bagi kami ya Allah. Jaga hati kami ya Allah untuk selalu condong kepada-Mu. ([email protected])